Gaya Hidup Slow Karier: Jadi Solusi Mencapai Karier Impian - ahmad hanif

Gaya Hidup Slow Karier: Jadi Solusi Mencapai Karier Impian

Gaya Hidup Slow Karier: Jadi Solusi Mencapai Karier Impian


Bagaimana slow career jadi solusi permasalahan jaman sekarang.  


Siapa sih yang nggak mau punya karier bagus. Karier jadi kebutuhan semua orang karena dapat menjamin kehidupan mereka jauh lebih terjamin dan layak. Makanya tiap orang akan berjuang dan bekerja keras demi masa depan yang indah. Entah merintis dari nol atau telah dibungun sejak awal, karir menjadi penting untuk semua orang.


Tapi, permasalahan dunia karier tidak senyaman yang kita bayangkan. Perubahan budaya yang mengandalkan kecepatan justru jadi tantangan bagi kita. Resto merubah makanannya jadi siap saji. Transportasi terus dikembangkan agar lebih cepat. Pembelajaran perlu metode yang praktis. Berita pun harus sigap setiap saat. Begitu juga dengan karier, membuat semua orang ingin kariernya cepat tercapai


Maksudnya, masalah dunia karier sebenarnya adalah gaya hidup kita sendiri. Budaya kita sekarang adalah “Fast Culture.” Apa-apa harus cepat, nggak betah kalau ada proses yang lambat. Kayak orang yang klakson pas baru lampu hijau. Kalau nggak, ngerasa jengkel pas kejebak macet di jalan. 


Yang kayak gini membuat dunia kerja dan karier juga ikut serba cepat. Masyarakat juga dituntut cepat. Al-hasil, semua jadi pengen karier yang bagus tanpa perlu menjalani proses yang bermakna. Sehingga, kita seringkali mengutamakan kecepatan daripada kualitas hidup. Dan akhirnya, kita kehilangan kemampuan untuk menikmati kehidupan. Di mana, segala sesuatu dilakukan dengan tergesah-gesah tanpa kesadaran yang mendalam.


Fast culture membuat kita cenderung memprioritaskan kuantitas (melakukan sesuatu lebih banyak), daripada kualitas (melakukan sesuatu dengan sepenuh hati). Kalau seperti itu, kita akan melewati pengalaman-pengalaman berharga. Sampai nggak ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. 


Ibarat berkendara dengan kecepatan tinggi. Pandangan kita pada sisi samping menjadi tidak fokus atau kabur. Ini karena otak kita terlalu banyak memproses informasi dengan kecepatan tinggi.


Efek budaya serba cepat akan merusak kesehatan kita. Stres, overthinking, depresi dan penyakit lainnya. Fast culture juga membuat kita merasa tertekan untuk selalu produktif, bekerja keras dan berkompetisi. Dan mengabaikan kebutuhan tubuh untuk istirahat dan terjebak dalam siklus yang merusak.


Dampak dari kehidupan seperti ini disebut dengan Hustle Culture. Yaitu, pola pikir atau gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja terus-terusan. Nggak memperdulikan batasan waktu ataupun keseimbangan hidup. 


Seakan-akan, istirahat atau nggak melakukan apa-apa itu sebuah kesalahan fatal. Bisa-bisa orang akan punya pikiran bahwa orang hebat itu orang yang sibuk terus. Kalau hidup nggak produktif atau nggak kerja, rasanya kayak nggak berharga. Bahaya jika seperti ini terus. Kaya sih kaya, tapi kalau cepat mati atau sakit-sakitan, percuma hidup.


Makanya, kita perlu mengubah gaya hidup kayak gitu agar apa yang kita jalanin lebih bermakna, lebih bermanfaat, atau setidaknya bisa dinikmati. Caranya dengan hidup slow career, melambatkan karier atau mengurangi kecepatan dalam memperjuangkan karier. Mungkin banyak yang nggak setuju, karena betapa buruknya menunda-nunda karier.


Nggak kok. Bukan berarti kita menunda karier, terus bakal lama mencapai karier yang diinginkan. Konsep slow career sama halnya dengan slow living atau gaya hidup yang mengandalkan kualitas hidup. Menjalani hidup dengan santai, sederhana, dan berempati sama waktu maupun lingkungan.


Banyak orang mengira kalau hidup slow living itu kayak tinggal di desa, meninggalkan hiruk-pikuk kota, terus menikmati masa pensiun. Atau beranggapan, “Agar bisa slow living kita harus fast earning atau fast learning.” Bukan itu konsep slow living, tapi memelankan kehidupan agar lebih berkualitas dan bermakna. 


Jika kita terapkan pada karier, maka slow karier berarti mengatur tempo untuk mencapai karier dan menjalani hidup dengan seimbang. “Work-Life Balance.” Nggak kerja terus-terusan, juga nggak terlalu menikmati kehidupan. Intinya begini,


  • Slow career bukan berarti malas-malasan. Masih punya ambisi, tujuan, goals, tapi ada waktu untuk mengerjakan.
  • Slow career bukan berarti menunda-nunda, tapi nggak tergesah-gesah mengerjakan.
  • Slow career bukan berarti alibi untuk pengangguran, tapi memanfaatkan waktu untuk menghasil sesuatu atau produktif, bukan lagi sibuk.


Sibuk dan produktif juga berbeda, kalau sibuk itu banyak aktivitas tapi nggak menghasilkan apa-apa. Kalau produktif itu aktivitas mengerjakan sesuatu tetapi menghasilkan dan bermanfaat. 


Slow career nggak sepakat dengan multitasking. Pekerjaan yang dilakukan dengan multitasking membuat fokus kita jadi terpecah sehingga otak perlu bekerja lebih keras lagi agar bisa menyelesaikan tugas. Ini yang membuat seseorang yang terbiasa multitasking mengalami kelelahan fisik maupun mental. Contohnya, makan sambil main HP atau mengerjakan tugas sambil mendengarkan podcast.


Kita perlu menghargai proses ketika mengerjakan sesuatu. Seperti filosofi Kaizen, nggak harus ngerjain sesuatu yang besar, fokus aja sama perbaikan kecil yang konsisten. Karena perubahan kecil juga berpengaruh dengan hasilnya. Atau biasa disebut, “The 1% Daily Improvement Rule. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit.


Ada beberapa kebiasaan yang harus dirubah, seperti halnya cara pandang kita terhadap media sosial. Seringkali kita merasa terpacu atau terdorong untuk lebih cepat dalam mencapai karier impian, ketika melihat pencapaian karier teman-teman kita yang sukses atau mapan di media sosial. Atau tekanan lingkungan terdekat (orang tua) yang terus-terusan memaksa kita menjadi, “Kebanggaan.”


Dalam buku parenting, “The Book You Wish Your Parents Had Read,” Kita (orang tua) jangan perlakukan anak seperti proyek kehidupan. Pandanglah mereka sebagai subjek / pelaku kehidupan. 


Selain itu, yang terpenting adalah sadar batasan diri dan tau waktu. Sadar kemampuan diri kita memang segini dan pahami bahwa setiap diri kita berasal dari latar belakang yang berbeda juga. Terus, tahu kapan kerja, kapan istirahat. Emang ada pepatah, “Waktu adalah harta paling berharga.” Menurutku, waktu yang berharga adalah ketika kita punya waktu untuk membuat hidup kita berkualitas dan penuh makna. 


Ritme kita mencapai karier yang mapan, nggak harus secepat atau sebaik orang lain. Ada waktunya kita mencapai karier itu, memang butuh proses. Tapi jangan sampai proses yang kita alami nggak bermakna. Lambatkan temponya, karena apapun yang cepat biasanya sering lupa. Pelankan ritmenya, karena setiap proses akan ada maknanya.


Yaa, kayak sholat. Nggak harus cepat-cepat untuk menyelesaikan kewajiban. Diresapi dan dinikmati setiap gerakan sholat. Toh, yang jadi patokan diterima juga bukan yang paling cepat sholat, bukan juga yang paling lama sholat. 


Jadi, gaya hidup slow karier ini, menekankan kualitas pekerjaan, keseimbangan kerja-hidup, dan fokus pada makna di balik pekerjaan, bukan hanya pada pencapaian cepat.


Yang terpenting, menekankan pentingnya kesadaran akan batasan diri dan manajemen waktu yang bijaksana, sehingga kita dapat menciptakan hidup yang berkualitas dan penuh makna, di mana istirahat dan refleksi bukanlah kesalahan, melainkan bagian integral dari perjalanan menuju karier yang memuaskan dan berkelanjutan. 

Terima kasih telah melihat tulisan saya